Senin, 15 September 2008

SCOOTER LOVE

Di saung ini, mungkin keseratus kalinya aku memandangnya tajam. Dalam. Tapi curi-curi. Dia tak tahu. Atau, mungkin saja dia tahu, tapi tak peduli. Ya sudah, aku pun tak peduli. Selama ketenangannya masih mengizinkan mataku menatapnya.



Pagi tadi.

Aku merasa cantik sekali. Yaa, bilang saja aku narsis atau apapun. Yang jelas, tak dapat kupungkiri bahwa aku memang memesona, meski tanpa polesan bedak dan blush on. Ataupun bingkai penuh sebuah eye liner, mascara, dan teman-temannya. Aku merasa cantik. Tahukah kalian, mengapa? Karena pagi ini aku bahagia. Aku penuh cinta. Itu saja cukup untuk membuatku merasa cantik.

Untuk merayakan ulang tahunku, ia mengajakku ke Lembang. Sekedar mentraktirku makan jagung bakar dan sate kelinci, katanya. Bukankah itu menyenangkan, heh? Meski sekedar menikmati makanan sederhana, tetapi dengan seseorang yang amat berarti untukmu. Mungkin kau akan menganggapku sedang terbutakan oleh cinta, sehingga tahi bisa terasa seperti cokelat. Bah! Tentu saja aku tak seperti itu. Jagung bakar kan bukan tahi…

Ia menjemputku dengan vespa birunya. Vespa yang dimodifikasinya di berbagai sisi, sehingga terlihat unik. Vespa yang begitu dicintainya, yang katanya dimilikinya sejak ia masih kuliah di semester empat, empat tahun yang lalu, hasil dari kerja magangnya di berbagai tempat. Vespa yang konon membuatnya selalu merasa hidup dan bergairah setiap membuka mata di pagi hari. Ooh, andai saja ia tahu bahwa seberharga itulah ia untukku. Seperti ia mencintai vespanya yang tak bernyawa itu.

“Dingin ya?” pertanyaan bodohku memecah keheningan. Tentu saja bodoh. Dari dulu juga perjalanan menuju Lembang memang dingin. Yaa, habis aku tak tahu lagi harus bicara apa. Dari tadi ia hanya diam, dan berkonsentrasi penuh pada jalan di depannya.

“Hmmh…” Cuma itu yang keluar dari mulutnya. Padahal yang ada di kepalaku (selain kalimat ‘dingin ya’) tadi itu adalah, bisa nggak sih ia menyuruhku memeluknya dari belakang, untuk mengusir rasa dingin ini?? Tapi, alih-alih menyuruh memeluk, memerhatikanku saja tidak. Oh Tuhan, mengapa tak kau hadirkan saja aku ke dunia ini sebagai motor vespa miliknya??

“Jalannya nanjak banget ya? Aku nggak bakalan merosot, nih?”

“Nggak laaah…”

“Yaa, kalaupun aku merosot dari vespa ini, sebelum pergi tadi ibuku sudah melihat wajahmu. Dan suara cerewetnya akan mencecarmu begitu tahu puteri sulungnya membawa serta luka di tubuhnya setelah kau ajak pergi.” Jawabku sambil pura-pura tak menatapnya. Ia melihat ke arahku melalui spion vespanya. Aku tahu itu. Aku dapat merasakannya, meski hanya melihatnya dengan ekor mata saja.

Ia tersenyum. Hanya tersenyum. Tapi sungguh, hatiku bergemeletar melihatnya! Bagaimana cara mengungkapkannya yaa? Pernahkah kau merasakan cinta monyet? Cinta yang bisa membuatmu tersenyum malu-malu saat melihat namanya di daftar absen kelas, atau membuatmu merasa dekat hanya dengan melihat pagar rumahnya? Nah, mungkin seperti itulah rasanya. Ketika sesuatu yang amat sederhana menyentuh perasaan. Sesuatu yang amat sederhana, yang bisa jadi sangat mahal karena diberikan oleh seseorang yang selalu kau puja.

Ia menghentikan motornya.

“Kenapa? Habis bensin?”

Ia membuka jaketnya.

“Nih, pakai. Nanti kalau kau masuk angin, bertambahlah dosaku di mata ibumu.” Katanya, tulus. Tanpa mata yang mengedik nakal, tanpa nada suara yang menyindir. Tanpa tendensi apa-apa. Ia hanya tersenyum. Senyum yang lagi-lagi meluluh-lantakkan seluruh persendian.

“Cuma untuk ini kau berhenti?”

“Ayo naik lagi.”

Aku sedikit kecewa. Kupikir akan ada aksi-aksi selanjutnya. Apapun itu. Yang penting darinya, tak akan kutolak.

Perlahan vespa birunya berjalan lagi, menuju Lembang. Menuju dingin yang menusuk. Aku tak dapat menahannya lebih lama. kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Ia terlihat salah tingkah. Beberapa kali memandangku dari spionnya. Tapi, ia tak menolaknya. Atau melepaskan pelukanku. Maka aku pun mengeratkan pelukan itu. Sambil menyandarkan kepalaku di punggungnya. Aku menikmatinya…Sambil berharap ia pun menikmatinya.

Ada tetesan air menyentuh hidungku dengan lembut. Makin lama makin banyak. Oh tidak! Hujan menyapu seluruh khayalanku. Padahal kami bahkan belum sampai di Lembang. Kenapa sih aku tak boleh menimati indahnya perasaan ini? Sebuah perasaan nyaman dan terlindungi. Perasaan ingin memiliki dan dimiliki. Perasaan…ah aku bahkan tak boleh meski hanya mengkhayal.

Jadi, baiklah…Aku ikuti saja saat ia berhenti di sebuah pos ronda.

“Perjalanan kita terpaksa tertunda. Daripada nanti kau sakit.” Ujarnya, masih disertai dengan senyum. Aku sudah tak mampu tersenyum. Hari ini aku tak suka hujan. Ia telah merenggut khayalku.

Area perkebunan yang luas terhampar di depan kami. Memberikan bau harum kesejukan.

“Aku jadi ingat abang-abangku.” Ucapnya selewat. Jika saja aku tak berkonsentrasi padanya, pastilah gumamannya itu hanya akan pergi bersama angin yang kebetulan berhembus. Atau, memang ia hanya berniat mengenang, dan bukan memberi suatu informasi untukku? Apapun alasannya, kalimatnya mau tak mau sudah terlanjur terdengar.

“Ada apa dengan abang-abangmu? Ummh…memangnya kau punya berapa abang?”

“Dua. Eh, sebetulnya tiga. Tapi, yang dua itu saja yang akrab denganku, karena perbedaan usia kami yang hanya terpaut dua tahun.” Ucapannya terhenti sejenak. Ia membetulkan duduknya di bangku bambu pos ronda.

“Dulu, kami tinggal di kampung. Kalau hujan seperti ini kami masih suka berlarian di sawah dekat rumah.”

“Ngapain?”

“Banyak. Kadang sekedar menikmati hujan. Kadang juga kami diiizinkan untuk mengambil ikan-ikan kecil di tambak. Enak sekali. Pasti kau belum pernah makan ikan-ikan kecil yang kau jaring sendiri dari tambak.” Tebaknya. Dan ia memang betul. Untuk apa aku berlari-lari di sawah dan menjaring ikan kecil di tambak? Jika aku bisa mendapatkan versi sudah matang-mengepulnya di meja makan… Tapi baiklah, kuikuti saja kalimat-kalimatnya.

“Di dekat rumahku juga ada sungai kecil. Dulu, airnya masih jernih. Aku dan kedua abang kembarku itu suka menjadikannya sebagai tempat piknik yang menyenangkan sepulang sekolah. Jika cuaca sedang terik, kami main nyemplung saja ke dalamnya, dan membiarkan baju seragam kami di atas bebatuan. Dan haaa…haaa… pernah sekali bajuku tertiup angin. Lalu, ia menyangkut di dahan pohon. Tak terlalu tinggi memang, jadi bisa kugapai tanpa harus memanjatnya. Tapi, dasar ceroboh. Aku malah membuatnya terkoyak. Setibanya di rumah, aku takut ibuku akan marah-marah. Maka aku diam saja dan berlaku sebagai anak termanis di dunia. Aku tak bilang apa-apa. Kugantung baju seragamku seperti biasa pada paku di balik pintu kamar.” Kalimat-kalimat panjang itu mengalir dari mulutnya, tanpa bisa kucegah. Aku menyukainya. Jarang sekali ia bisa bercerita sepanjang ini padaku.

“Lalu, selama apa kau bisa menyembunyikan koyaknya dari ibumu?”

“Tak lama.” matanya kembali menerawang. “Perempuan perkasa itu menemukannya di malam hari, saat ia sudah menyelesaikan pesanan-pesanan jahitan tetangga.”

Aku melirik ke arahnya.

“Beliau perkasa karena…Menurutku karena tak pernah mengeluh meski harus bekerja keras membantu ayahku menghidupi keluarga besar kami. Ibu berjualan dengan sepedanya keliling kampung pada pagi sampai siang hari. Lalu beliau akan menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya yang baru pulang sekolah. Setelah mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, barulah disentuhnya kain-kain pesanan yang menumpuk di atas mesin jahit tuanya.”

Tepat, ia seolah bisa menjawab pertanyaan akan sosok perempuan perkasa yang ingin kutanyakan padanya.

“Rasanya aku kangen ibuku. Hey! Asyik ya, kalau bisa bertemu ibu setiap hari?”

Aku diam.

“Luna…??” ia mengibaskan telapak tangannya di depan wajahku. Membuatku tersadar dari lamunan singkat.

“Ummh…hyaa…begitu lah rasanya. Kadang menyenangkan, kadang menjemukan.”

“Jemu? Ah masa? Bukannya saat-saat bersama ibu merupakan saat terindah dalam hidup seorang anak? Saat-saat ia bisa kembali menjadi anak-anak, setua apapun usianya. Karena bisa bermanja-manja, berbagi kebahagiaan…”

“Ibuku cerewet sekali. Jadi, kadang aku bosan mendengar segala nasehatnya. Seringkali ibuku tak dapat membedakan apakah aku ini empat tahun, atau dua puluh tahun lebih tua dari itu.” Ucapku, agak terburu-buru.

“Oooh…wajarlah. Semua ibu memang begitu. Tujuannya hanya satu, tak ingin anaknya salah langkah. Apalagi jika puterinya begitu cantik sepertimu.”

Aku tersenyum manis. Kali ini aku berharap, senyumku bisa membuatnya terbang ke langit ketujuh, seperti yang ia lakukan berulangkali terhadapku.

Sedetik kemudian, saat ia tak lagi memerhatikan senyumku, manisnya berubah menjadi pahit. Getir. Ah yaa, andai saja ibuku memang cerewet. Andai saja ibuku memang mencerewetiku seperti pada anak-anak umur empat tahun setiap harinya. Aku rela, sungguh! Akan kuturuti semua kecerewetannya.

Tapi sayang, ibuku tak seperti itu. Yang kukatakan di hadapannya tadi hanya dusta. Jangankan cerewet, beberapa kalimat pendek setiap malam saja sudah bagus jika sempat terucap dari mulutnya sebelum ia tidur.

Kalimat pendek. Ya, hanya kalimat pendek! Itulah mengapa aku tak suka pada orang yang jarang berbicara. Aku mengasumsikannya sama dengan ibuku. Ibuku yang sudah terlalu letih mendesah. Ibuku yang sudah tak sanggup lagi mengeluarkan suara dari mulutnya, karena terlalu banyak merayu, merenda kata-kata birahi berbalut cinta. Berlapis niatnya untuk tetap dapat menghidupi anak-anaknya.

Singkat kata, aku merasa bahwa mereka yang tak berbicara banyak padaku, pastilah tak punya cukup sayang untukku.

“Hujan sudah reda. Yuk kita teruskan. Pemandangan di atas sana lebih bagus, kok. Udaranya juga pasti lebih sejuk.”

Hmmm…ia pasti berpikir bahwa aku sedang menikmati pemandangan pesawahan ini. Tak buruk. Daripada ia tahu isi kepalaku yang sesungguhnya.

Kami berhenti di sebuah rumah makan sederhana.

“Mau makan apa? Aku mau sate kelinci.”

“Aku…burung dara goreng saja.”

Ia memesankan kedua menu tersebut pada seorang perempuan separuh baya yang sebelum kedatangan kami terlihat sedang mengobrol dengan perempuan lainnya yang sepertinya berusia sama.

Kami berjalan menuju salah satu saung kecil di rumah makan itu.

“Bagaimana kuliahmu?” tanyanya sambil menyeruput susu murni rasa cokelat dalam gelas besar.

“Yaa, mudah-mudahan bulan depan aku bisa mengajukan sidang, sebelum deadline-nya habis.”

“Bagus. Jadi kau bisa cepat lulus dan… ambil S-2 atau bekerja?”

“Tidak tahu.”

“Kok begitu?”

“Keduanya tak menarik minatku.”

“Lantas?”

“Mungkin aku akan terus menulis. Siapa tahu ada penerbit yang tertarik membukukan puisi-puisiku.”

“Ummh…ide bagus. Coba saja ajukan.”

“Nanti ditolak?”

“Kau tak akan pernah tahu sampai kau mencobanya.”

Aku tersenyum simpul mendengar kalimat bijak itu. Jika saja bukan ia yang mengucapkannya, aku mungkin akan langsung bilang, ‘huh, ngomong memang gampang!’ tapi yang mengucapkannya ia, seseorang yang kukagumi karena kemampuannya bertahan dari berbagai kesulitan hidup. Mulai dengan mengamen untuk membayar biaya kuliahnya, hingga kerja serabutan di berbagai instansi yang membutuhkan tenaga kerja part time mahasiswa berotak cerdas-namun membayar gajinya setengah dari karyawan full time.

“Aku suka deh lihat senyummu kalau cuma setengah begitu.”

“Hah? Masa sih? Apa bagusnya?”

“Nggak bagus, tapi unik. Jarang-jarang ada perempuan yang suka tersenyum separuh begitu. Kebanyakan dari mereka yang pernah kulihat, lebih sering tersenyum penuh. Kau mengingatkanku pada Monalisa.”

Gombal. Tapi aku suka.

Benakku kembali dipenuhi dengan khayalan. Andai saja di sini ia mengucapkannya. Mengucapkan sebuah kalimat yang didambakan oleh banyak perempuan seusiaku. Okelah, mungkin terlalu berlebihan jika aku mengharapkan ia mengucapkan ‘maukah kau menikah denganku?’. Tapi, sekedar kalimat, ‘jadilah kekasihku…’ rasanya ingin aku dengar dari mulutnya. Ditemani dengan burung dara goreng, susu strawberry, dan cuaca yang berkabut begini. Rasanya semua akan sempurna jika ia tiba-tiba menggenggam tanganku, menciumnya, dan mengucapkan itu. Oh Tuhan, aku akan langsung mengangguk secepat aku bisa. Agar ia tahu aku sungguh-sungguh menginginkannya.

Ia menatapku.

Aku salah tingkah.

Ia memegang telapak tanganku.

Oh oh…jantung, tolong jangan pamit sekarang. Biarkan aku menikmati sensasi ini, dan menunggu kelanjutannya.

“Luna…” ia semakin kuat menggenggam tanganku, dan menyentuh punggung tanganku dengan tangan kirinya. Jantungku semakin bertingkah. Menggelepar. Ayo ucapkan…Ayo…Atau, haruskah kupejamkan mata agar ia tak merasa gugup?? Baiklah. Akupun memejamkan mata perlahan.

“Selamat ulang tahun yang ke-duapuluh-empat ya Luna! Semoga cepat lulus kuliahmu, amin!”

Harapan…khayalan…dan keinginanku hancur menjadi kepingan-kepingan, yang tak ingin kuambil. Biar saja mereka terserak di lantai saung ini.

Tidak ada komentar: